Monday, June 27, 2005

Melembutnya Hati yang Membatu

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS 39:22)

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur\'an yang serupa (saling menjelaskan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang memilih jalan sesat, maka tidak ada seorangpun memberi petunjuk baginya.” (QS 39:23)

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS 2:60)

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS 2:74)

Saudaraku yang dikasihi Allah, sesungguhnya sifat batu adalah keras, walaupun demikian dapat dihancurkan sampai menjadi partikel yang sangat halus. Apabila batu telah berubah menjadi partikel lembut maka akan dapat digunakan sebagai bahan perekat dalam bangunan. Batu berubah menjadi lembut dapat terjadi dalam waktu singkat, yaitu dengan menggunakan benturan benda keras, misalnya dalam
contoh kisah Musa dengan tongkat, dan disela-sela batu yang dipukul itu memancarlah sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh kehidupan manusia, sesuai dengan tugasnya selaku kholifah Allah:

“Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. (QS 2:30)

Disamping itu, berubahnya batu yang keras menjadi partikel lembut dapat pula terjadi dalam waktu yang lama, yaitu dengan diberi tetesan air secara terus menerus. Demikianlah ibarat kekerasan hati manusia yang membatu.

Perlakuan benturan benda keras maupun tetesan air yang terus menerus tersebut pada prinsipnya untuk mengajar si nafsu tunduk sehingga hati menjadi lembut.

Hati yang membatu sangat sulit menerima sentuhan halus Ilaahiyah. Buktinya apabila dibacakan ayat-ayat Al Qur\'an tidak dapat tersentuh sehingga tidak ada getaran-getaran yang membahana di setiap relung hatinya (sebagaimana pada
QS 39:23). Hati yang keras berbeda dengan hati yang lembut (QS 39:22). Hati yang lembut mudah sekali disentuh ayat-ayat Al Qur\'an antara lain begitu mendengar adzan bergema bergegas untuk sholat dan apabila dibacakan ayat-ayat Al Qur\'an maka di dalam hatinya dirasakan ada sesuatu yang mudah menyentuh sehingga mudah menangis. Dia menangis karena merasakan betapa rahmannya Allah kepadanya dan sampai kehabisan kata-kata untuk berucap terimakasih, mengingat dirinya yang masih penuh dosa-dosa tetapi kasih sayang Allah itu terus menjamah kepada dirinya.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (QS 8:2).

Harum semerbak bunga melati di taman puri
Dijadikan hiasan mahkota mempelai putri
Tanda/lambang kesucian dan kelembutan hati
Lembutnya hati bila berhiaskan Asma Ilaahi

Lembut tampaknya buih dihempas ombak
Terpukau mata seakan kabut yang berarak
Padahal buih sisa hempasan perasaan riak-riak
Banyak manusia seakan dirinya berakhlaq
Padahal hatinya senantiasa memberontak
Akui berhati lembut, ternyata keras berpijak.

Baru disadari ternyata diri banyak tertipu
Menyangka hati telah lembut
Menyangka diri telah beriman
Menyangka diri telah berbuat baik
Menyangka dan menyangka
Yang selalu diulang dan menjadi bayangan diri
Bukankah ini khayalan yang pasti?

Kini... terlihat batu telah berada dalam suatu proses
Ternyata batu yang keras bukan saja dapat dipecahkan
Melainkan dapat pula dihaluskan laksana tepung
Ternyata disini pulalah letak ketinggian mutunya karena telah berubah fungsi selaku penghalus dan pengokoh suatu bangunan.

Oh... inikah maksud pelajaran dari melembutnya sebongkah batu
Tertunduk wajah menyimpan rasa malu
Seulas cibiran menukik di diri sambil berkata.....
Batu yang keras saja ternyata sabar memproses diri
Lalu bagaimana diri ini: “HATI” hakikatnya
Telah tercipta dalam kondisi lembut
Tak mampu berproses menuju kelembutan
Mengapa diri tak merasa malu dengan kekerasan hati
Bukannya hati yang mengeras.... tetapi nafsulah yang menjadikan hati tampil mengeras

Sehingga tak mampu hati tersentuh kelembutan Ilaahi
Sehingga tak mampu hati menangkap isyarat berhikmah
Sehingga tak mampu hati bergetar dan menangis,
Bila diingatkan dan disentuh ayat-ayat Al Qur\'an.
Oh alangkah keras dan membatunya hati...

Saudaraku yang dikasihi Allah, berdasarkan rangkaian dan untaian kata bermakna di atas, maka diri yang senantiasa bertafakur kepada Allah dapat mengenal dan mengetahui tingkat kekerasan hati pada setiap saat tertentu, karena tolok ukur yang digunakan telah disediakan yaitu: tersentuhnya hati apabila dikumandangkan ayat-ayat Al Qur\'an. Tersentuhnya hati oleh ayat-ayat Al Qur\'an sifatnya otomatis dan tidak dapat dibuat-buat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pertolongan
dan petunjuk Allah mustahil hati yang keras itu dapat berubah menjadi lembut. Namun Allah-pun tidak akan membukakan si manusia itu tanpa ada upaya si manusia itu sendiri untuk membuka hatinya. Disinilah bukti bahwa Allah menjamin
penuh kebebasan manusia untuk menentukan sikap terhadap kekerasan hati yang dimilikinya.

Suatu hal yang perlu disadari bahwa selamanya hati tak akan berfungsi bila tali rasa rusak dan mati.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS 57:16)

Wahai Allah wahai Rabbi Dzat pendidik kami
Kerasnya hati kami, tak pernah kau membenci
Engkau tersenyum melihat tingkah polah kami
Laksana seorang ibu selalu sabar menjagai
Rahmat terus kau beri agar tersadar diri ini
Sungguh kami adalah hamba yang tak pandai mensyukuri

Wahai Allah wahai Rabbi tempat kami mengadu
Selangkah demi selangkah kami tinggalkan nafsu
Agar mencair hati yang selama ini keras membatu
Baru kami mengerti betapa pemurahnya sifat-Mu
Kami yang selama ini acuh dengan sabar kau tunggu
Oh ternyata kami adalah hamba yang tak mau tahu

Wahai Allah wahai Rabbi sumber segala bahagia
Banyak sudah hidup kami yang tersia-sia
Tanpa kami sadari kelak berakhir petaka
Karena terlena pada keindahan fatamorgana
Mohon kiranya agar waktu yang masih tersisa
Untuk berbakti dan bersyukur selaku hamba

sumber ,http://www.pks-anz.org

Sunday, June 26, 2005

Baitu-d Da'wah

Oleh : KH.Rahmat Abdullah

Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, Khalifah II Umar bin Khattab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya."Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan
campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita."Bu, saya tak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita."Siapa sih sepagi ini mengintai kita?" sang ibu balik bertanya. "Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita." Khalifah segera kembali dengan satu tekad yang esok dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk puteranya, 'Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu : Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima.

Tuan & Nyoya Da'wah yang saya hormati, Tentu saja istilah baitu da'wah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato.Juga bukan keluarga dengan aktifitas belajar mengajar
seperti laiknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara
mandiri dan alami namun bertarget jelas.

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya
sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. "Keterlambatan" itu dapat mengambil
bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh
kesibukan kerja diluar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau karir
yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

Banyak orang merasa telah menjadi suami, istri atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suami, atau istri biologis. Sangat kasar kalu diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan, isu sentral "pewarisan nilai-nilai kehidupan" dalam kehidupan mereka tak soal. Buktinya, tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa ada anak manusia bertingkahlaku babi, serigala, harimau, atau musang.

Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghafal seluruh program yang dijejalkan bapak-ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru.Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islami yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.

Misteri Berkah
Saat ini ada beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh "intuisi" kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hafal 1000 Alfiah Ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (Nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesame mahasiswa di sebuah Universitas terkemuka di Negara Arab. Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak beasiswa ke sebuah universitas unggulan di Eropa. Lainnya bisa melakoni dua kuliah yang "pelik" : bahasa Arab di sebuah kolese paling representatif sementara siangnya mengambil jurusan Ekonomi. Kemenakannya hafal Al-Qur'an 30 juz menjelang akhir semester delapan di
institut teknologi paling bergengsi di negeri ini.

Kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.
Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal yang spesial dari
kelakuannya, muncul jawaban yang signifikan : Kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti
yang sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma'ruf nahi mungkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh. Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, "Barangsiapa meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, maka anak, isteri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya."

Ternyata memang, keikhlasan seseorang atau keluarga kerap menembus sampai beberapa generasi sesudahnya.Boleh jadi seseorang merasa telah mejadi bagian dari da'wah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da'I yang dirawatnya. Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak da'iyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkannya terhadap masyarakat. Padahal, besar kemungkinan mereka tidak tersentuh da'wah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.

Ikhlas, nilai plus yang menembus lintas generasi Keikhlasan yang "naif" Nabi Ibrahim yang rela -demi
melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS.Ibrahim : 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.

Ummu Sulaim ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al-Qur'an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan yang penuh berkah -ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW- di malam yang sangat berlasan baginya untuk "meratapi" bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh –yang karenanya Allah menyebutnya dengan imra-ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya)- melahirkan generasi yang sangat berbeda. Yang satu generasi sangat rabbani seperti Nabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid : "'Ayahanda,
lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar." (QS.37:102)

Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata,saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, "Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari airbah." (QS.11:43)
Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungi anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak tergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya disana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:

"Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kuatnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata : Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan beramal shalih yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri."

Sebuah kekuatan Iman

Hampir setiap subuh itu tempat yang ku lalui selalu penuh dengan orang-orang yang akan menunaikan pekerjaannya untuk menunggu mobil jemputan mereka , kebetulan jalan yang kulalui menuju Masjid tempat untuk menunggu mobil angkutan dan letaknya memang dipinggir jalan raya .

Waktu adzan Subuh berkumandang pun memang sudah banyak orang-orang berkumpul disitu untuk menunggu jemputan , memang mobil yang mereka tunggu biasanya datang saat adzan subuh berkumandang sehingga mereka harus sudah siap ditempat itu untuk menunggu agar tidak ketinggalan jemputan .Entah mereka saat itu sudah melakukan sholat subuh atau belum yang pasti saat mereka berada dilokasi jemputan itu adzan subuh baru berkumandang , atau mungkin mereka melakukan sholat didalam mobil jemputan dan mungkin juga mereka melakukan sholat saat ditempat kerja mereka saat mereka sampai ditempat kerja masing-masing , dengan konsekuensi akan tidak tepat waktu saat sholat subuh itu .

Tetapi ada fenomena yang jauh dari dugaan tersebut diatas , ada beberapa orang yang dari awal sebelum adzan berkumandang sudah berada dilokasi jemputan dan saat adzan berkumandang pun mereka masih berada dilokasi itu sampai setelah sholat pun mereka masih berada dilokasi tersebut , walaupun jarak masjid hanya dua meter dari lokasi tersebut . Nah..untuk yang satu ini saya tidak habis berpikir dengan keadaan tersebut walapun saya sempat berpikir mungkin mereka orang non muslim tetapi kalau mereka muslim dimana perasaan dia sebagai seorang muslim yang wajib melaksanakan sholat subuh tepat pada waktunya ?..apakah mereka menjamin saat hari itu mereka akan melaksanakan sholat subuh….?? Untuk hal ini saya hanya bisa diam …dan berdo`a agar mereka diberikan kekuatan Iman pada diri mereka dan kepada saya untuk senantiasa konsisten dalam menjalankan agama ini dengan mudah…dan ikhlas tentunya..

Begitulah keadaan umat Islam sekarang ini , wajar kalau sendainya musuh-musuh Islam ingin melakukan penghancuran terhadap Islam mereka melakukannya dengan sedikit-sedikit untuk merubah tingkah laku , pola hidup dan pergaulan untuk menjahui dari nilai-nilai Islam ,..sampai akhirnya Islam seperti buih dilautan mudah dihancurkan ..

Begitupula hal itu bisa jadi tertimpa pada diri kita … bisakah kita menolak atau sekedar untuk tidak berbuat demikian diatas …hanya satu yang bisa kita berharap yaitu dengan Sebuah Kekuatan Imanlah hal itu bisa diatasi ..mudah-mudahan… Amin.

Wallahu`alam bi showab.

( Abu Syahid , Bekasi, 24 Juni 2005 )